Bolehkah Perkawinan Campuran Islam dan Nonmuslim
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita yang berbeda agama. Namun, perkawinan campuran yang dibenarkan menurut Hukum Islam hanyalah perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita non muslim ahlul kitab, bukan wanita musyrik, sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Baqarah(2) : 221
Walaa tankihul musyrikaati hatta yu'minna
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman."
Dengan demikian, perkawinan dengan wanita-wanita musyrik dianggap zina, yang terlarang.
Kemudian, tentang nilai dibenarkannya seorang pria muslim kawin dengan wanita ahli al-kitab para ulama berbeda pendapat. Ada yang membolehkan secara mutlak(Malik dan Ibnu al-Qasim), ada yang memakruhkan(sebagai mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali), bahkan ada yang menganjurkan, jika perkawinan tersebut dapat mengajak isteri menjadi muslim sebagaimana yang dilakukan Usman bin Affan.
Sekalipun pada dasarnya perkawinan antara pria muslim dengan wanita non muslim dibenarkan, tetapi menurut Prof. Hazairin, penggunaan dispensasi sempit ini ada syaratnya, yakni jika di tempat tinggal pria muslim tersebut sangat sedikit wanita muslimnya, kebanyakan wanita ahlul kitab. Dengan demikian, di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, syarat untuk mempergunakan dispensasi tersebut tidak ada. Oleh sebab itu perlu, diperhatikan prinsip yang dikenal dengan sad al-dzari'ah, yaitu tentang kemungkinan dampak negatifnya.
Walaa tankihul musyrikaati hatta yu'minna
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman."
Dengan demikian, perkawinan dengan wanita-wanita musyrik dianggap zina, yang terlarang.
Kemudian, tentang nilai dibenarkannya seorang pria muslim kawin dengan wanita ahli al-kitab para ulama berbeda pendapat. Ada yang membolehkan secara mutlak(Malik dan Ibnu al-Qasim), ada yang memakruhkan(sebagai mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali), bahkan ada yang menganjurkan, jika perkawinan tersebut dapat mengajak isteri menjadi muslim sebagaimana yang dilakukan Usman bin Affan.
Sekalipun pada dasarnya perkawinan antara pria muslim dengan wanita non muslim dibenarkan, tetapi menurut Prof. Hazairin, penggunaan dispensasi sempit ini ada syaratnya, yakni jika di tempat tinggal pria muslim tersebut sangat sedikit wanita muslimnya, kebanyakan wanita ahlul kitab. Dengan demikian, di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, syarat untuk mempergunakan dispensasi tersebut tidak ada. Oleh sebab itu perlu, diperhatikan prinsip yang dikenal dengan sad al-dzari'ah, yaitu tentang kemungkinan dampak negatifnya.