Isi Aturan, Penyimpangan dan Dampak Tanam Paksa Bagi Rakyat Indonesia

Pelaksanaan tanam paksa dimulai pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch. Pada masa pemerintahannya di Hindia Belanda, van den bosch menerapkan kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel)  dengan beberapa aturan sebagai berikut:
  1. Penduduk melakukan kontrak tanah yang akan ditanami tanaman produksi, misalnya: kopi, tebu dan tembakau.
  2. Tanah yang diserahkan tidak lebih dari 1/5 bagian.
  3. Tanah yang diserahkan tidak dikenakan pajak.
  4. Bila hasil tanaman, melebihi pajak yang harus dibayar, maka kelebihan akan dikembalikan.
  5. Waktu mengerjakan tanaman produksi tidak melebihi waktu untuk meynanam padi.
  6. Kerusakan tanaman yang terjadi bukan karena kesalahan-kesalahan penduduk, menjadi tanggungan pemerintah Belanda.
  7. Penduduk yang tidak mempunyai tanah, wajib bekerja di perkebunan selama 66 hari.
Penguasa Belanda memberlakukan cultuurprocenten, yaitu hadiah atau persenan bagi pejabat lokal (bupati dan kepala desa). Hadiah tersebut diberikan kepada pelaksana tanam paksa yang dapat menyerahkan hasil tanaman lebih banyak. Kebijakan tersebut mengakibatkan pejabat lokal makin menekan rakyat. Selain cultuurprocenten, bentuk-bentuk penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa sebagai berikut:
  1. Tanah yang digunakan lebih dari 1/5.
  2. Tanah yang digunakan dipilih yang subur, sehingga rakyat kebagian yang tidak subur.
  3. Waktu penanaman lebih dari semestinya.
  4. Gagal panen menjadi tanggungan rakyat.
  5. Kelebihan panen tidak dikembalikan.
  6. Penduduk yang tidak mempunyai tanah bekerja lebih dari 66 hari.
Bagi pemerintah Belanda, kebijakan tanam paksa berhasil mengisi kekosongan kas negara. Selain itu, pemerintah memiliki anggaran untuk membangun jaringan transportasi.
Akibat sistem tanam paksa ini, rakyat Indonesia sangat menderita, kelaparan terjadi dimana-mana. Akibatnya, banyak rakyat yang meninggal dunia. Setelah Van Den Bosch, Gubernur Jenderal yang memerintah berturut-turut ada 25 orang sebelum akhirnya kekuasaan jatuh ke tangan Jepang. Gubernur Jenderal yang terakhir memerintah adalah A.W.L. Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer. Dia memerintah mulai tahun 1936 sampai dengan 1942.