Menurut Nenden Lilisa, keterpojokan perempuan di dunia sastra juga terjadi.

Sejarah kesusastraan kita sempat mencatat nama-nama dan karya-karya perempuan. Akan tetapi, dalam penilaian terhadap karya-karya mereka banyak terjadi pengabaian. Kesusastraan lebih banyak difokuskan pada karya laki-laki sehingga pendeskripsian tentang wawasan estetik hanya didasarkan pada apa yang dicapai oleh laki-laki. Akibatnya, apa yang pernah dicapai perempuan, yang sebenarnya penting tidak terjelaskan. Maria Amin, misalnya, penyair ini hidup di zaman Jepang. Saat itu, bentuk puisi kita mulai membebaskan diri dari aturan-aturan puisi lama dan menerima bentuk puisi barat yang lebih bebas, terutama dari Eropa, seperti soneta, dan juga bentuk-bentuk lain seperti dilakukan Chairil Anwar. Maria Amin tampil dengan sajak berbentuk prosa yang belum dilakukan penyair sebelumnya. Namun, tak ada kritikus yang melihat hal ini sebagai suatu fenomena, apalagi menilainya sebagai pembaru puisi Indonesia.

Kalimat kritik yang sesuai penjelasan tersebut adalah
Keterpojokan posisi penyair perempuan dapat dilihat dari pengabaian dan kurangnya penilaian terhadap hasil karya penyair perempuan dari pihak masyarakat Indonesia sendiri.
Pembahasan:
Kritik merupakan bentuk tanggapan, kecaman, atau penilaian terhadap sesuatu hal.