Variabel Untuk Menentukan Budaya Politik

Gambaran sementara tentang budaya politik Indonesia, yang tentunya harus ditelaah dan dibuktikan lebih lanjut, adalah pengamatan tentang variabel sebagai berikut:
  1. Konfigurasi subkultur di Indonesia masih aneka ragam, walaupun tidak sekompleks yang dihadapi oleh India. Misalnya, yang menghadapi masalah perbedaan bahasa, agama, kelas, kasta yang semuanya relatif masih rawan atau rentan. Pada prinsipnya masalah keanekaragaman subkultur di Indonesia telah dapat ditanggulangi berkat usaha pembangunan bangsa (nation building) dan pembangunan karakter yang cukup berhasil bila diukur dengan memandang jumlah penduduk, luas bentangan wilayah dari 6°LU sampai 11°LS dan 95° sampai 141°BT yang meliputi antara lain wilayah seluas 2.027.087 km², latar belakang kesulitan sejarah, bentangan waktu yang dipergunakan, yang relatif tidak lebih kecil dari India misalnya.
  2. Budaya politik Indonesia yang bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di lain pihak, di satu segi masa masih ketinggalan dalam mempergunakan hak dan dalam memikul tanggung jawab politiknya yang mungkin disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial sedang di lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan partisipan yang aktif yang kira-kira disebabkan oleh pengaruh pendidikan modern (Barat) kadang-kadang bersifat sekuler dalam arti relatif dapat membedakan faktor-faktor penyebab disintegrasi seperti: agama, kesukuan, dan lain-lain.
  3. Sifat ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang dikenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; puritanisme dan nonpuritanisme dan lain-lain. Disamping itu, salah satu petunjuk masih kukuhnya ikatan tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat dimana usaha gerakan kaum elit (dalam hal ini organisasi politik) langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk tujuan perekrutan dukungan.
  4. Kecenderungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial, sebagai indikatornya dapat disebutkan antara lain: bapakisme, sikap asal bapak senang. Di Indonesia, budaya politik tipe parokial kaula lebih mempunyai keselarasan untuk tumbuh dengan persepsi masyarakat terhadap obyek politik yang menyandarkan atau menundukkan diri pada proses output dari penguasa.
  5. Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat. Beberapa waktu yang lalu, tentang hal ini belum ditemukan suatu modus pendekatan yang dianggap tepat, yang ditandai dengan mengisolasikan diri, ketidaksetujuan pada proses modernisasi yang diidentikan dengan westernisasi dan "zenophobia". Dewasa ini hal-hal tersebut masih perlu dipikirkan.